[tulisan ini merupakan tulisan lama yang ada website sebelumnya. Berhubung ada masalah di web yang lama, akhirnya ini diupload lagi, asli apa adanya]
A Piece of Memory – Part 2
[tulisan ini mungkin agak mellow, karena berisikan hari terberatku di negeri bambu]
Namanya Richard Xiansheng (Mr. Richard). Dialah adalah penghubungku dan orang yang mengurusi segala tetek bengek sekolah dan asramaku di Beijing ini. Kata agen yang di Jakarta, Mr. Richard ini bisa bicara bahasa Inggris, jadi harusnya aku nggak perlu khawatir bagaimana berkomunikasi dengannya, mengingat aku belum bisa terlalu mengandalkan bahasa Chinaku.
Perasaan tidak enak mulai muncul ketika aku pertama kali bertemu dengan Richard di bandara pada saat dia menjemputku. Setelah berjabat dengan keras dan sedikit terburu-buru, Richard langsung menggiringku ke mobilnya yang di parkir di lapangan parkir (ya iyalah…masa’ di kolam..). Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir itulah perasaan tidak enak mendera dengan hebatnya. Bagaimana tidak? Richard terus bicara tanpa berhenti, dalam bahasa China dengan logat Beijing (yang terkenal dengan penambahan –er di belakang kata dan membuat mereka seperti kumur-kumur setiap kali bicara).
Kalian tahu..pada saat aku berangkat ke Beijing untuk belajar bahasa China ini, sebenarnya aku sudah cukup lama belajar bahasa tersebut. Tapi karena di kotaku saat itu tempat belajar bahasa China belum banyak, dan setiap kali aku mau naik level ternyata teman-temanku sudah berguguran di tengah jalan. Akhirnya aku harus menerima lari sendirian, artinya lari di level paling menthok 3 sendirian nggak naek-naek lagi…fiuhh…apess… Tapi aku rajin belajar lho… Dengan modal level 1-ku yang sampai 5 kali, level 2 hingga 3 kali, dan level 3 yang baru sekali, plus belajar sendiri, maka aku cukup PeDe membawa diriku merantau ke China. Aku pikir, setidaknya kemampuan dasar sudah kumiliki. Tapi ternyata dugaanku salah besarr….
Aku tahu kemampuanku terselip dan tersembunyi setelah aku menyadari aku nggak paham sedikitpun yang Richard ocehkan sepanjang perjalanan ke tempat parkir. Aku hanya paham ketika dia tanya pertanyaan dasar, seperti siapa namamu? Namaku Maya. Aku bahkan masih terbengong-bengong mendengar dia bicara yang seperti kumur-kumur nggak jelas. Ketika kami sampai di mobilnya dia, aku menyerah. Aku bilang sama Richard, please stop talking in Chinese. My Chinese is not good. I don’t understand any words you said. Hah! Richard keliatan shock! Mungkin karena dia mendapatkan informasi dari agen di kotaku bahwa aku sudah memiliki dasar berbahasa China. Hehehe…rasain kamu, Richard! Sekarang kamu yang harus berbahasa Inggris!
Dengan situasi antara aku dan Richard yang saling berusaha mengerti perkataan masing-masing, Richard banyak bercerita tentang Beijing dan hal-hal yang kami lewati. Aku ingin sekali menceritakan banyak hal yang dia ceritakan, tapi itu tidak mungkin, karena aku juga hanya paham 30% dari yang dia ocehkan. Selebihnya…? Well…aku kan pandai berakting, pura-pura sangat mengerti. Hihihi…
Yang jelas, saat itu aku tidak bisa tertawa. Aku panik mendengar Richard bicara dan aku panik melihat semua tanda-tanda jalan dan papan-papan di jalan. Semua berhuruf Hanzi (kanji China)!! Gubrakkk…Bagaimana aku bakal menjalani kehidupan disini???? Kalau hanya untuk membaca tulisan China, aku harus membuka kamus. Butuh sekitar 2 menit paling cepat untuk melihat arti satu huruf. Dan satu huruf itu hanya sepersekian dari satu kalimat. Membayangkan saja aku sudah ingin pulang ke Indonesia. Negara dimana tulisannya masih bisa dibaca dan bukan cuma dilihat saja tanpa tahu maknanya.
Kembali ke Richard. Dia tidak langsung membawaku ke universitas. Dia meminta maklumku karena harus mengajak dulu ke suatu tempat. Ada urusannya katanya. Aku sih terserah aja, secara aku tanpa dia mungkin akan dideportasi. Ternyata dia mengajakku ke tempat temannya di sebuah lingkungan elit di Beijing. Seingetku dia bilang kalau lingkungan tersebut adalah tempat para diplomat tinggal. Jadi mereka rata-rata orang asing. Ketika masuk ke kompleks itu, aku sempet lupa aku berada di Beijing. Hehe…setidaknya petunjuk jalannya menggunakan bahasa Inggris. Sayangnya, kami tidak lama di sana. Sebentar banget malah. Setelah itu aku diajak mampir lagi ke pom bensin. Jujur aja, kesan pertamaku tentang Beijing adalah kurang bersih dan kurang rapi. Kecuali tempat-tempat internasional, seperti bandara, atau juga jalan-jalan tol dan highway. Selain itu, aku melihat toko-toko di kanan kiri jalan yang terlihat seperti kurang rapi dan kurang teratur. Demikian juga dengan pom bensin yang kami datangi. Well…pom bensinnya seperti pom bensin versi lama di Indonesia yang belum direnovasi. Kebayang kan? Udah gitu tambah shock, ketika Richard pakai teriak-teriak segala waktu manggil petugasnya, kayak nggak beradab gitu. Heh..bakal kayak apa ni culture shock yang akan kualami selama 5 minggu ke depan…
—
Akhirnya, setelah lebih dari satu setengah jam, aku sampai juga di kampusku yang semoga bakal jadi kampus tercinta. Setidaknya aku akan berada di sini sampai 5 minggu ke depan. Begitu masuk kompleks kampus, suasananya jauh berbeda dengan kesan pertama yang kudapat tadi. Beijing Language Culture University pada musim semester pendek ini banyak diisi oleh pelajar-pelajar asing yang ingin memperdalam bahasa China, ya seperti aku ini.
Kampusnya sangat menyenangkan. Rindang dan asri. Banyak kafe dimana-mana. Terlihat juga banyak mahasiswa asing berlalu lalang naik sepeda. Aku juga takjub melihat begitu banyak fasilitas olahraga. Bayangkan saja, untuk kampus yang sebenarnya tidak terlalu besar ini, langsung terlihat ada 4 lapangan tenis dan 8 lapangan basket (hiperbola nggak ya? kayaknya bener deh hitunganku..kalau salah ya maaf..). Setelah bertanya-tanya dimanakah asramaku, asrama no. 2, akhirnya ketemu juga asrama no. 2 di depan lapangan basket persis. Jadi pemandangan orang-orang yang lagi maen basket dan joging di sekitar taman kampus yang luaaas banget…
Richard nganterin aku daftar ulang asramaku. Aku dapet kamar di lantai 3, tanpa lift. Okelah untuk ke depannya aku memang harus berolahraga, tapi kebayang kan harus bawa koperku naek ke lantai 3 dengan handle yang patah (read previous part). Fiuhh..walaupun Richard bantuin, aku kasian juga liatnya..tapi aku juga ga kuat, mengingat bagaikan aku bawa batu dalam koper. Hehehe…
Sepertinya aku melewatkan cerita tentang penjaga asramanya. Ibu-ibu separuh baya yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris, dengan logat yang ternyata jauh lebih kental daripada Richard. Kalau Richard saja aku tidak paham bicaranya, maka aku seperti mendengar kaset rusak saja kalau Si Penjaga Asrama bicara. Dia bilang (tentu saja dengan bantuan terjemahan dari Richard) kalau asrama ini campuran. Terdiri atas 6 lantai. Dimana masing-masing lantai ada sekitar 30 kamar dengan dua tempat tidur. Masing-masing lantai juga disediakan satu buah dapur dan 2 buah mesin cuci pakai koin. Harga kamar ini 50 yuan atau sekitar 70 ribu rupiah semalem. Cukup mahal sebenarnya. Katanya aku bisa saja cari yang off-campus gitu…tapi kalau hanya untuk 5 minggu, sepertinya itu terlalu merepotkan. Aku terima saja yang ini.
Ketika aku sampai kamar, fiuh..aku lega melihat kamarnya cukup bersih. Kamar mandinya juga sangat bersih. Ada tvnya pula. Cuma aku kurang nyaman dengan meja belajarnya, jadi selama aku di Beijing, aku nggak pernah pakai meja belajarnya dan belajar di atas tempat tidur. Nggak papalah, kan aku bisa sembunyiin kakiku di balik selimut. Katanya, teman sekamarku adalah orang Korea Selatan. Dia sudah mulai kuliah lebih dulu dan juga mengambil program semester pendek.
Pada akhirnya tibalah Richard harus meninggalkanku. Sebenarnya aku enggan sendirian, tapi bersama Richard juga males. Orangnya aneh. Dia kasih aku nomor telponnya, untuk jaga-jaga kalau terjadi sesuatu atau sekedar bertanya sesuatu. Ketika dia sudah pergi,aku sendirian. Di kamar. Tanpa tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba aku merasa sangat kesepian. Sangat kesepian. Aku nggak pernah selama hidupku merasa sendirian seperti ini. Semua pikiran-pikiran buruk jadi berkeliaran di benakku, bagaimana kalau banjir, bagaimana kalau petir, dan bahkan aku seperti merasakan ada gempa, yang mungkin hanya khayalanku saja.
Sekarang aku baru tahu, itu adalah salah satu culture shock ketika kita studi di tempat asing. Rasanya sangat tidak menyenangkan. Untuk mengobati perasaanku itu, akhirnya aku menelpon Indonesia, tanpa peduli lagi berapa banyak pulsa yang bakalan habis. Aku bawa kartu pasca bayarku saat itu.
Setelah itu, aku mencoba membunuh kesepian dan kesendirian dengan melihat tv. Tidak berhasil. Karena semua channel tidak ada yang berbahasa Inggris, kecuali saluran informasi cuaca. Aku mencoba tidur, tapi perutku lapar. Aku harus bangkit. Aku tidak bisa hanya berguling di kasur saja. Tapi rasanya aku tidak sanggup. aku ingin pulang, aku tidak peduli lagi dengan studiku di sini yang telah menghabiskan banyak rupiah..huaaa……………………………………………..
Dengan berat hati, aku memaksakan untuk keluar kamar. Saat itu sudah pukul 4 sore. Sebenarnya cuaca hari itu sangat bagus. Ketika aku keluar kamar, kulihat begitu banyak kaum muda dan tua yang sangat giat berolahraga. Wah, ini sangat beda dengan di Indonesia. Mungkin karena suasana kampus yang nyaman, jadi olahraga pun terasa nikmat. Aku berjalan pelan untuk membuang waktu sambil (berusaha) menikmati sekelilingku. Berjalan ke arah yang tadi sudah kulewati ketika pertama kali datang. Karena aku tidak ingin resiko tersesat. Aku nyoba cari supermarket untuk beli minuman dan makanan, serta beberapa perlengkapan lainnya. Whoah….sudah jalan jauh, kok nggak kelihatan satu pun toko? Akhirnya aku berpikir untuk menyeberangi jalan besar di depan kampus, karena aku lihat begitu banyak orang-orang yang sedang menikmati indahnya sore ini (bagi mereka). Yaps! Ada satu toko kelontong kulihat. Aku ambil air mineral, tisu (secara kamar mandi di sini hanya ada shower dan wastafel juga toilet kering), mi instan…eh…yang mana nih yang harus kubeli? Mana yang halal buatku? Gawat! Aku lupa menghafalkan karakter “ham” aku juga lupa bahasa lisannya! Wah, bahaya! Akhirnya aku hanya bisa bertanya, mana mi instan yang rasa sapi?
Aku pikir bahasa Chinaku lumayan bisa dimengerti, setidaknya Richard bisa mengerti sedikit. Tapi ternyata, si penjual sama sekali tidak paham. Bahasa China mengenal beberapa nada dalam setiap kata. Kalau salah mengucapkan nada, arti kata bisa beda. Misal, seharusnya ingin mengatakan ibu salah menjadi kuda, atau pusat bahasa salah jadi rumah sakit! Fatal kan? Di toko kelontong ini aku juga mencari sendok. Karena aku lihat tidak ada, aku tanyakan lagi ke penjual…tobaaat….sudah dicoba sepuluh kali, masih juga nggak paham. Pengalaman ngomong “sendok” dalam bahasa China memang bikin aku agak trauma sampai sekarang. Rasanya jadi selalu salah. Akhirnya aku lebih memilih bahasa tubuh dan maen ambil barang yang aku cari, juga membayar pakai pecahan terbesar karena aku masih bingung dengan pecahan Yuan. Oya, di China, kita harus membayar tas plastik yang kita pakai. Kecuali kamu membawanya sendiri. Hehe…
Dengan berbekal belanjaan, khususnya mi instan, aku balik lagi ke kamar. Jalan kaki sekitar 15 menit. Sampai di kamar, aku coba bikin mi instan pakai air panas yang ada di termos di kamar. Tunggu sebentar…dan….blehh!! bukan seperti bayangan mi instan di kampungku!! Aneh! Nggak ada manis, yang ada pedes dan rasanya seperti kare…Akhirnya aku makan tanpa perasaan.
Jam 6 sore kulihat langit masih sangat terang, seperti jam 4 WIB, meskipun sebenarnya selisih cuma 1 jam saja. Aku bosen dan aku takut sendirian di kamar, takut tercekam rasa sepi yang mendalam. Akhirnya aku keluar lagi, sekedar duduk-duduk di pinggir lapangan basket, melihat permainan basket, dan merenungi nasib terdampar disini tanpa kenalan. Mau iseng cari temen baru, masih nggak pede. Aku penasaran dengan temen sekamarku yang nggak kunjung balik ke kamar. Semoga orangnya asyik dan menyenangkan.
Jam 8 malam aku balik ke kamar. Sekarang mungkin baru saja Magrib (disini kan nggak ada adzan..hehe…). Saatnya pulang, bersih-bersih, mandi, dll. Tentu saja sambil nungguin temen baruku itu, aku nyambi beres-beres pakaian dan nonton tv (lagi). Sampai jam 10 malam. Tiba-tiba kudengar suara pintu berusaha dibuka. Cekrek! Cekrek! Aku kaget karena aku baru saja tertidur. Antara takut dan penasaran dengan orang yang ada di balik pintu. Akhirnya kuputuskan untuk membuka pintu yang kukunci dari dalam itu. Ternyata orang itu adalah….
[Ingin tahu siapa orang itu? Bagaimana perkenalan dengan teman sekamarku? Bagaimana orangnya? Ikuti terus kelanjutan ceritaku…di “A Piece of Memory – Part 3”, Episode: Perkenalan dengan orang Korea yang tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali!]