Sesendu siang ini aku ditemani oleh beberapa lagu lama yang menggugah jiwa. Biola tak berdawai. Nada-nada ini mengingatkanku dan membawaku kembali ke masa lalu, masa dimana aku pun tak bisa menandainya di kalender. Tak ada waktu “dari dan hingga” yang nyata. Hanya tersimpan di hati terdalam entah dalam bentuk apa. Bahkan saat ini, kumerasa, kata-kata pun tak sanggup menguraikan apa yang tergores sudah. Bagaikan biola tak berdawai, diciptakan untuk bernada, namun tak bernada.
Hatiku..pernah mengingat. Suatu waktu di masa lalu pernah kumerasakan suatu rasa. Ketika itu, benar dan salah masih menjadi percobaan untukku yang baru belajar merasa. Rasa yang hingga saat ini ku selalu berusaha menguraikan, mempelajari gejala dan tanda-tanda, menyesuaikan dengan segala teori yang ada, tak pernah ada yang kata-kata yang tepat mewakili.
Perjalanan hidup memang telah memperbanyak perbendaharaan rasa. Ku pernah menafsirkan rasa tak berbentuk itu menjadi berbagai contoh pola rasa yang ada dan diajarkan. Kasih sayang, cinta, benci, amarah, apatis, rindu, penyesalan, keabadian, tapi semua itu ku merasa tak ada yang sesuai. Jejak langkah yang semakin banyak ternyata tak menjamin ku menemukan definisi rasa itu.
Entah karena ku masih tak tahu apakah rasa itu, atau sebenarnya rasa itu sendiri telah berevolusi, namun dia berubah-ubah dan membuatku terpaku. Spektrum rasa itu memantulkan berbagai macam cahaya yang menyilaukan. Mungkin spektrum inilah yang membuatku buta untuk mengenali rasa ini. Spektrum itu memancarkan berbagai turunan rasa yang tidak asing, namun inti rasa-nya bagiku adalah sebuah keterasingan.
Tulisan ini, bukan untuk menjelaskan pada siapapun mengenai rasa itu. Bagaimana pun aku menjelaskan pasti akan mereduksi esensinya, karena bahkan akalku yang masih satu badan dengan hati dimana rasa itu bermukim tak bisa mengenalinya. Akalku telah lelah mencoba mengertinya. Akalku masih tak mampu mengikuti evolusi spketrum rasa yang terasa menjauh dan sekaligus mendekat tanpa ada pola pasti. Akalku memilih untuk menyerah mengenali rasa itu. Akalku memilih untuk membuang, mengunci, dan mengasingkan rasa itu dalam hati yang terdalam. Suatu lubuk yang tak perlu diketahui siapapun termasuk diri sendiri, yang tak perlu dibuka apabila kemunculannya hanya membuat akal ini mengalami kegilaan sementara.
Namun, seandainya hal itu mudah dilakukan. Seandainya pengasingan itu adalah mungkin. Seandainya saja hati memiliki kunci. Karena yang aku tahu di kemudian hari, hati adalah kebebasan tertinggi, sekaligus terindah yang dimiliki oleh badan. Hati tak pernah mau mengunci apapun yang menjadi bagiannya. Hati tak pernah ingin menyulitkan akal. Hati hanya ingin akal tidak pernah berusaha ‘memikirkan’, ‘mempelajari’, ‘mengerti’ apa yang selamanya tidak akan mampu untuk diterjemahkan. Hati hanya ingin akal bersanding dengan damai dengan apa yang menjadi bagian terdekatnya, rasa.
Rasa itu memang tak berbentuk. Tak ingin dibentuk. Tak ingin membentuk.
sebuah catatan atas penglihatanku pada sebuah cerita hidup yang tak hidup…